Blogger Template Style Name: Picture Window Designer: Josh Peterson URL: www.noaesthetic.com

Rabu, 30 November 2011

Berakhlaq Qur'ani

Al-Qur'an merupakan pedoman bagi umat Islam. Fenomena yang terjadi saat ini -yang berupa kerusakan fisik dan psikis- merupakan salah satu akibat tidak berpegangnya umat Islam pada pedoman utamanya itu. Yang lebih parah lagi, nilai-nilai keislaman yang ada pada Al-Qur'an -seperti kebersihan- tidak terdapat pada masyarakat Islam, tetapi masyarakat selain Islam yang tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya.

Salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai solusinya adalah menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman yang sebenarnya, dibuktikan dalam perilaku setiap hari. Perilaku ini mencerminkan Nabi Muhammad sebagai teladan, karena Beliau mencontohkan seperti itu. Perilakunya cerminan Al-Qur'an.

Hati adalah pengendali setiap gerak manusia. Dengan demikian, Hatinya dulu harus Qur'ani. "Apabila segumpal daging tersebut baik, maka seluruh tubuh akan baik" (al-hadits). Apabila hatinya sudah Qur'ani, maka seluruh tubuh tunduk pada Qur'aninya hati. Begitulah analoginya.

Memang menjadikan hati qur'ani bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Dalam diri manusia sudah terdapat saingan (baca: musuh) yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka, hal pertama yang harus dilakukan adalah memohon kepada Sang Mahasegalanya untuk memudahkan setiap langkah yang kita lakukan, sehingga tujuan kita tercapai. Setelah itu, barulah niat yang tulus kita ungkapkan dalam hati.

Apabila niat sudah mantap, langkah selanjutnya adalah membiasakan diri membaca Al-Qur'an, memahami dan menghafalnya. Dengan membaca Al-Qur'an, mulut ini akan terbiasa mengucapkan, mengeluarkan bunyi ayat Al-Qur'an, maka diikuti langsung oleh indra pendengaran sebagai sarana memasukkan kalam ilahi menuju otak untuk direspon dan disalurkan menuju jantung, dan dipompa ke seluruh tubuh.

Karena Al-Qur'an merupakan pedoman, maka alangkah baiknya, ketika yang menjadi bacaan harian itu dipahami arti dan didalami maknanya. Meskipun membaca Al-Qur'an itu dicatat sebagai ibadah di hadapan Allah, tetapi (menurut saya), kurang bermakna apabila membaca Al-Qur'an tiap hari, tetapi tidak berpengaruh terhadap perilaku, bahkan yang lebih parah lagi, akhlak yang dilakukan bertentangan dengan apa yang kita baca dalam Al-Qur'an. Maka, di sinilah pentingnya memahami arti dan mendalami makna Al-Qur'an.

Ketika membaca, memahami arti dan mendalami Al-Qur'an sudah menjadi rutinitas harian, maka rutinitas yang baik tersebut kita ikat dengan menyempatkan diri untuk menghafal ayat demi ayat.

Akal manusia memang lebih dari makhluk lainnya. Akan tetapi, karena mungkin dari pengaruh asupan makanan juga, apalagi dipengaruhi oleh usia, dan pengaruh banyaknya hal yang harus dipikirkan dengan perhatian penuh, apa yang kita baca pada pagi hari, sorenya sudah lupa. Untuk mengikis kelemahan ini, maka menyempatkan diri untuk menghafal Al-Qur'an adalah suatu hal yang perlu dikembangkan.

Menghafal Al-Qur'an tentu sangat berbeda dengan menghafal yang lain. Karena ini adalah sebuah tantangan, bisa juga dikatakan sebagai ujian. Biasanya, ketika kita mendengar kata "ujian", yang terbayang itu adalah Ujian Nasional, Ujian Akhir Semester, Ujian (sidang) Skripsi, Tesis, Disertasi dan sebagainya. Dan sudah menjadi hal yang umum, apabila ada Ujian Nasional, maka ada kenaikan tingkatan, dari semester Ganjil masuk semester Genap, dari kelas satu, naik ke kelas dua, dari belum mendapat gelar, setelah ujian skripsi mendapat gelar sarjana; setelah ujian tesis, mendapat gelar magister; setelah ujian disertasi, mendapat gelar doktor; begitulah seterusnya.

Nah, begitu pun ujian dalam menghafal Al-Qur'an, tentu ada tingkatan yang lebih tinggi yang akan didapat. Agar kita termotivasi untuk terus menghafal Al-Qur'an, maka harus ditumbuhkan dalam diri, bahwa apabila kita lulus dalam ujian ini, derajat kita akan bertambah di sisi-Nya. Apabila Sang Pencipta telah meninggikan derajat kita, siapa pun tidak akan bisa menurunkannya. Sungguh suatu kebahagiaan yang tak ternilai, dan tentu saja tidak dapat kita ungkapkan dengan kata-kata apabila keberhasilan itu terwujud.

Bagi kebanyakan orang, yang namanya bahagia itu adalah banyaknya harta, tingginya kedudukan dan sebagainya. Mungkin (maaf), bagi yang kurang beruntung -yang tidak memiki kekuatan iman- menganggap bahwa sesuatu yang menjadikan ia bahagia adalah seperti orang lain, memiliki harta yang lebih, dalam pandangannya, mungkin kalau banyak harta, kebahagian ia raih.

Akan tetapi, ada sedikit yang kita lupakan. Ketika semua yang kita inginkan tercapai, harta yang kita dambakan ada di depan mata. "Bru di juru, bro di panto, ngalayah di tengah imah" –sebuah ungkapan babasan sunda yang sejak saya SD sudah saya kenal yang menggambarkan begitu banyak harta yang dimiliki– sangat cocok dilabelkan padanya, tetapi kebahagian yang ia dapatkan ternyata sebuah kebahagiaan semu. Ini menunjukkan bahwa, kebahagiaan seseorang tidak dapat kita lihat dari apa yang dia punya. Tidak sedikit orang yang kurang mampu, tetapi hatinya bahagia. Dan tidak sedikit pula orang yang kaya harta, hidupnya berakhir tragis (baca: bunuh diri). Inilah pentingnya kebahagiaan hati. Menjadi sebuah harapan bagi penghafal Al-Qur'an, tercapainya kebahagiaan hati.

Untuk menjadi seorang hafidz Al-Qur'an, tentu kita harus mempersiapkan strategi yang baik. Salah satu cara yang dapat ditempuh setelah memantapakn niat dan menumbuhkan motivasi dalam diri adalah menentukan waktu yang cocok. Dalam satu sumber –kalau tidak salah, hadits– mengatakan bahwa waktu yang paling cocok untuk menghafal adalah antara maghrib dan isya. Waktu sebelum tidur dapat kita gunakan untuk muraja'aah (mengulang) dan setelah tidur kita gunakan untuk menghafal yang baru, yang masih sulit. Tidak lupa untuk selalu mengulang apa yang sudah dihafal dengan sering bertadarus.

Setelah kita memiliki kebiasaan membaca, memahami dan mendalami makna dalam Al-Qur'an, kemudian menghafalnya, maka langkah selanjutnya adalah mempraktikannya dalam sendi-sendi kehidupan. Karena Al-Qur'an sudah mencakup berbagai aspek kehidupan manusia.

SEBUAH WAHYU LANGSUNG UNTUK 'ALI


 

Suatu hari ketika 'Ali sedang berada dalam pertempuran, pedang
musuhnya  patah  dan  orangnya  terjatuh. 'Ali berdiri di atas
musuhnya itu, meletakkan pedangnya ke arah dada orang itu, dia
berkata,  "Jika  pedangmu  berada  di  tanganmu, maka aku akan
lanjutkan pertempuran ini, tetapi karena pedangmu patah,  maka
aku tidak boleh menyerangmu."

"Kalau   aku  punya  pedang  saat  ini,  aku  akan  memutuskan
tangan-tanganmu dan kaki-kakimu," orang itu berteriak balik.

"Baiklah  kalau  begitu,"  jawab  'Ali,  dan  dia  menyerahkan
pedangnya ke tangan orang itu.
<span id="fullpost">

"Apa  yang  sedang kamu lakukan", tanya orang itu kebingungan.
"Bukankah saya ini musuhmu?"

Ali memandang tepat di matanya dan  berkata,  "Kamu  bersumpah
kalau  memiliki  sebuah  pedang  di  tanganmu,  maka kamu akan
membunuhku. Sekarang kamu telah memiliki pedangku, karena  itu
majulah  dan  seranglah  aku".  Tetapi  orang itu tidak mampu.
"Itulah kebodohanmu dan kesombongan berkata-kata," jelas 'Ali.
"Di  dalam  agama  Allah tidak ada perkelahian atau permusuhan
antara kamu dan aku. Kita bersaudara. Perang  yang  sebenarnya
adalah  antara  kebenaran  dan  kekurangan  kebijakanmu. Yaitu
antara kebenaran dan dusta. Engkau dan aku sedang  menyaksikan
pertempuran itu. Engkau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu
dalam    keadaan    seperti    ini,     maka     aku     harus
mempertanggungjawabkannya   pada   hari   kiamat.  Allah  akan
mempertanyakan hal ini kepadaku."

"Inikah cara Islam?" Orang itu bertanya.

"Ya," jawab 'Ali, "Ini adalah firman  Allah,  yang  Mahakuasa,
dan Sang Unik."

Dengan  segera,  orang  itu bersujud di kaki 'Ali dan memohon,
"Ajarkan aku syahadat."

Dan 'Ali pun mengajarkannya,  "Tiada  tuhan  melainkan  Allah.
Tiada yang ada selain Engkau, ya Allah."

Hal  yang  sama  terjadi  pada  pertempuran  berikutnya.  'Ali
menjatuhkan lawannya, meletakkan kakinya di  atas  dada  orang
itu  dan  menempelkan  pedangnya  ke  leher  orang itu. Tetapi
sekali lagi dia tidak membunuh orang itu.

"Mengapa kamu tidak membunuh aku?" Orang itu berteriak  dengan
marah. "Aku adalah musuhmu. Mengapa kamu hanya berdiri saja?,'
Dan dia meludahi muka 'Ali.

Mulanya 'Ali menjadi marah,  tetapi  kemudian  dia  mengangkat
kakinya  dari dada orang itu dan menarik pedangnya. "Aku bukan
musuhmu",  Ali  menjawab.  "Musuh   yang   sebenarnya   adalah
sifat-sifat  buruk  yang  ada  dalam  diri kita. Engkau adalah
saudaraku,  tetapi  engkau  meludahi  mukaku.  Ketika   engkau
meludahi   aku,   aku  menjadi  marah  dan  keangkuhan  datang
kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu,  maka
aku  akan  menjadi seorang yang berdosa, seorang pembunuh. Aku
akan menjadi seperti semua orang yang kulawan. Perbuatan buruk
itu  akan  terekam  atas  namaku.  Itulah  sebabnya  aku tidak
membunuhmu."

"Kalau begitu tidak ada pertempuran antara kau dan aku?" orang
itu bertanya.

"Tidak.  Pertempuran  adalah  antara kearifan dan kesombongan.
Antara kebenaran dan kepalsuan". 'Ali  menjelaskan  kepadanya.
"Meskipun   engkau  telah  meludahiku,  dan  mendesakku  untuk
membunuhmu, aku tak boleh."

"Dari mana datangnya ketentuan semacam itu?"

"Itulah ketentuan Allah. Itulah Islam."

Dengan segera orang itu tersungkur di kaki 'Ali dan  dia  juga
diajari dua kalimat syahadat.
 </span>

Abu Bakar Ash-Shiddiq

Siapa yang tak kenal dengan sahabat yang mulia ini, yang mempunyai kedudukan tinggi di hadapan Rasulullah, sahabat yang dijadikan pemimpin (khalifah) sepeninggal Rasulullah yang menemani beliau berhijrah menuju kota Madinah. Seorang sahabat yang telah diberi kabar gembira termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga Allah, beliau adalah Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim, atau lebih kita kenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq.
<span id="fullpost">
Kehidupan beliau pada masa sebelum Islam
Beliau dilahirkan pada tahun 51 sebelum peristiwa hijrah ke Madinah, beliau lebih muda dua tahun enam bulan dari Rasulullah,
Pada masa jahiliyyah Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan salah seorang tokoh pembesar bangsa Quraisy. Dia mempunyai garis keturunan yang mulia. Seorang saudagar kaya yang berperangai baik dan terpuji. Beliau sering dijadikan rujukan oleh para tokoh Quraisy untuk meminta pengarahan, karena kejeniusan, kesuksesannya dalam berbisnis, dan sikapnya yang luwes terhadap orang lain.

Abu Bakar telah mengharamkan khamr atas dirinya, beliau tidak pernah meminum minuman haram tersebut setetes pun selama hidupnya! Baik pada masa jahiliyah, maupun setelah beliau memeluk agama Islam. Itu dikarenakan pada suatu saat di masa jahiliyyah, beliau melewati seseorang dari kaumnya yang mabuk setelah minum khamr, kemudian orang tersebut meletakkan tangannya di atas kotoran dan mendekatkan kotoran tersebut ke mulutnya, ketika tercium bau busuk, ia menjauhkannya, seketika itu Abu Bakar mengharamkan khamr atas dirinya sendiri.

Abu Bakar juga sama sekali tidak pernah sujud di hadapan berhala. Abu Bakar pernah bercerita kepada para sahabat Rasulullah, “Aku tidak pernah sujud di hadapan berhala sekalipun! Dan itu terjadi ketika aku sedang mendekati al-Hakam, tiba-tiba Abu Quhafah menarik tanganku dan mengajakku ke suatu tempat yang di sana terdapat berhala-berhala. Ia berkata kepadaku, “Ini adalah sesembahan-sesembahanmu yang maha tinggi, lalu dia pergi dan meninggalkanku sendiri, aku pun mendekati berhala itu dan berkata, “Sungguh aku lapar, maka berilah aku makan! Berhala itu diam tidak bergeming sedikit pun. Aku berkata kembali, “Sungguh aku dalam keadaan telanjang, berilah aku pakaian!” Berhala itu pun tetap diam dan tidak menjawab permintaanku, maka aku lemparkan batu besar ke arahnya, hingga berhala itu jatuh tersungkur di atas tanah.”

Kehidupan beliau pada masa Islam
Abu Bakar adalah sahabat terdekat Nabi Muhammad. Ketika wahyu kenabian turun kepada Rasulullah, tanpa ada keraguan sedikit pun, beliau langsung beriman. Dikisahkan bahwa sebab masuknya Abu Bakar ash-Shiddiq memeluk agama Islam lantaran mengetahui akhlak, budi pekerti dan perangai Rasulullah yang baik dan menjunjung tinggi kejujuran serta amal shalih. Sejarah mencatat bahwa as-sabiquna al-awalun (orang–orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam) dari golongan laki-laki adalah Abu Bakar.
Mengenai kisah Islamnya Abu Bakar, diceritakan bahwa ketika beliau sedang berdagang ke Syam, beliau bermimpi dan menceritakan mimpinya kepada seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira, pendeta itu pun bertanya, “Dari mana asalmu?”, Beliau menjawab, “Dari Mekah,” Pendeta itu bertanya lagi, “Dari suku apa?” Beliau menjawab, “Dari suku Quraisy”. Dia bertanya kembali, “Apa profesimu?”, beliau menjawab, “Aku seorang saudagar.” Ia berkata,“Allah telah memberimu mimpi yang benar, sesungguhnya akan diutus seorang Nabi dari kaummu, engkau akan menjadi tangan kanannya, dan menjadi khalifahnya setelah beliau wafat.” Abu Bakar pun merasa senang dengan kabar gembira tersebut.

Abu Bakar merupakan seorang dai yang giat dalam berdakwah, mengibarkan bendera Allah di lingkungan Quraisy, sehingga banyak pembesar Quraisy yang memeluk agama Islam, diantaranya; Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqosh, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Di antara strategi dakwah beliau adalah membeli budak yang sedang disiksa oleh majikannya, kemudian beliau merdekakan budak tersebut, di antaranya adalah Amir bin Fahirah dan Bilal bin Rabbah.
Dalam kehidupan sehari-hari, beliau adalah orang yang sangat sederhana. Walaupun demikian, beliau tetap menginfakkan sebagian atau bahkan seluruh hartanya fi sabilillah. Diriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi dan Sunan Abu Dawud, dari Umar bin Khattab berkata, “Rasulullah memerintahkan kami (para sahabatnya) untuk bersedekah, maka aku sesuaikan dengan hartaku, Nabi berkata, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu? Aku menjawab:”Sama persis seperti yang aku sedekahkan”, kemudian datanglah Abu Bakar dengan seluruh harta yang dia miliki, Nabi berkata, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Dia menjawab, “Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Umar berkata “Aku tidak akan pernah sanggup mengalahkan Abu Bakar dalam hal kebaikan selamanya.”
Beliau pulalah satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah hijrah ke Madinah, dari sebelum keberangkatan hingga sampai di Madinah. Beliau juga merupakan sahabat yang intelektualitasnya paling tinggi di antara sahabat lain, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah, Sebagaimana dalam sabda beliau, “….Seandainya aku diperbolehkan menjadikan salah seorang umatku sebagai khalil (kekasih), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku.”

Pada saat Rasulullah wafat, Abu Bakar adalah sahabat yang paling sabar mendengar berita tersebut. Dikisahkan ketika Umar menolak berita tentang kematian Nabi Muhammad, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari tempat tinggalnya di kampung Sanah, kemudian turun dan masuk ke dalam masjid, ia tidak berbicara kepada yang hadir, hingga masuk ke bilik ‘Aisyah dan menuju ke tempat Rasulullah yang sedang ditutupi kain lebar. Abu Bakar membuka wajahnya, kemudian menundukan kepala kepadanya, lalu menciumnya dan menangis. Selanjutnya ia berkata, “Ayah dan ibuku, sebagai tebusan bagimu, Allah tidak akan menyatukan padamu dua kematian, adapun kematian yang telah ditetapkan Allah atasmu telah engkau alami.”

Kemudian Abu Bakar keluar, sedangkan Umar sedang berbicara dengan orang-orang yang hadir di masjid, Abu Bakar berkata, “Duduklah wahai Umar!” Umar tidak mau duduk. Kemudian Abu Bakar membaca kalimat syahadat sehingga orang-orang mengerumuninya dan meninggalkan Umar, Abu Bakar berkata, “Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau telah mati! Dan barangsiapa menyembah Allah sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan mati, Allah berfirman, artinya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Umar berkata, “Demi Allah! Tidaklah aku mendengar Abu Bakar membacanya, kecuali aku tercengang hingga kedua kakiku tak mampu lagi menyanggaku, kemudian aku terjatuh ke tanah saat dia membacanya, pada saat itulah baru aku menyadari bahwa Rasulullah telah wafat.”
Sepeninggal Rasulullah, diangkatlah Abu Bakar menjadi khalifah, pengganti Rasulullah memimpin umat Islam, pada masa singkat kepemimpinan beliau, umat Islam berkembang pesat, beliau juga memerangi orang-orang murtad yang tidak mau membayar zakat. Pada masa beliau pula al-Qur’an mulai dibukukan, karena banyak sekali para penghapal al-Quran yang gugur di medan jihad demi membela panji Allah melawan si nabi palsu Musailamah al-Kadzab.

Sungguh besar jasa beliau bagi umat ini, jika kita goreskan dengan tinta satu persatu tak akan cukup untuk mengenang perjuangan beliau dalam membela agama ini hingga akhir hayatnya. Tibalah saat bagi beliau menghadap Sang Khalik, ketika sakit mendera tubuh beliau selama lima belas hari, wafatlah sahabat mulia ini, pada hari Senin malam Selasa, pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 H, beliau wafat di usia 63 tahun, kemudian beliau dikebumikan di kamar putrinya ‘Aisyah, tepat di samping kekasihnya baginda Rasulullah. Umar berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar yang telah mengorbankan jiwa raganya dan meringankan tugas khalifah setelahnya.” (Rifqi Solehan)

[Sumber:
“Abu Bakar ash-Shiddiq,” Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dan beberapa sumber lainnya]</span>

Kamis, 03 November 2011

Menggali Hikmah Ibadah Qurban

Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan mengenali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali ”… Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi. Dalam Islam, kurban[1] tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan agama-agama Kuno–Yunani, Mesir, dan India atau ’agama Maya’ di Meksiko–terhadap para Dewa/ Tuhan dengan cara meninggalkan cabang bayi di atas bukit atau melemparkan gadis suci ke dalam sungai ”keramat.” Dalam Islam, kurban adalah wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba.

Bagi yang memahami simbol Langit, kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya adalah, selain kepasrahan dan pengabdian total, juga bentuk kritik Tuhan terhadap ’mitos bumi.’ Yang sering terlupakan dalam ibadah kurban adalah bahwa ada dua dimensi yang harus berjalan bersamaan: ilahiyyah dan insaniyyah—atau hablum minaLlah (hubungan vertikal) dan hablum minannas (hubungan horizontal). Tegasnya, selain kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial). Bila kita menilik ke belakang, kurban sudah ada sejak sepasang suami-istri pertama di bumi. Ia muncul dalam suasana persaingan antara Qabil dan Habil. Kepada kedua anaknya, Adam memaklumkan berkurban. Bagi yang diterima, ia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Merasa kalah dalam ’kompetisi,’ dengan mata menyala bagai api, Qabil mengintimidasi, ”Saya akan membunuhmu.” Dan dengan nada teduh Habil mengingatkan, ”Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Maidah: 27). Pada ruang yang tak sama dan waktu yang berbeda Alquran merekam peristiwa lain: seorang ayah bermimpi selama tiga malam berturut-turut agar menyembelih anaknya. Dengan suara berat, ia teguhkan hati menyampaikan ”mimpi”-nya pada si buah hati. Tak disangka, anaknya malah ’menantang’ sang ayah, ”Saya siap; satajiduni insy? Allah-u min al sh?bir?n.” (Q.S. Ash Shoffaat: 102). Ibadah kurban beda dengan mitos (baca: agama) kuno. Ia adalah pengejawantahan dari pengabdian total dan kesalehan hamba pada ”Langit.” Kurban Qabil tak diterima karena tanpa didasari ketakwaan pada Tuhan (=tanpa hubungan vertikal). Berbeda dengan Habil: ia berkurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, dan mengurbankan domba yang baik (=hubungan vertikal dan horizontal). Bagi yang memahami simbol ”Langit,” kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya, adalah bentuk kritik Tuhan terhadap ’mitos bumi.’ Tuhan sama sekali tidak ’serius’ memerintah Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Melalui ”monolog” itu Allah mengkritik tradisi dan sosio-kultur masyarakat saat itu yang mengorbankan nyawa manusia untuk sesembahan mereka. Tuhan tidak ’serius’ meminta Ibrahim mengurbankan anaknya. Tuhan hanya menguji kepasrahan Ibrahim terhadapnya dengan mengorbankan anak yang sejak kecil ia tinggalkan di tanah tandus: ya Ibrahim-u lam yakun al murad-u dzab-ha al waladi, wa inna-ma al murad-u an tarudd-a qalbak-a ilaina. Falamm-a radad-ta qalba-ka bikulliyatih-i ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka.[2] Dengan kritik itu pula, sekaligus Tuhan mengajak Ibrahim untuk membumikan ”pengorbanan” yang humanis; sebuah pengorbanan yang tak hanya berhubungan dengan Tuhan tapi juga membawa manfaat bagi manusia—bukan malah membinasan manusia. Nyawa tidak boleh dikorbankan meskipun terhadap ”tuhan.” Kedatangan malaikat membawa seekor kambing pada Ibrahim sebagai ganti anaknya,[3] jelas menegasikan bentuk pengorbanan yang sudah mengakar saat itu. Dari pesan Allah pada Ibrahim yang saya kutip di atas, jelas Ia tidak pernah meminta daging atau darah tapi ’pra-syarat’-nya, yaitu ketakwaan dan kepasrahan. Lihat pesan Langit: Falamm-a radad-ta qalba-ka ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka. Pesan ini sudah tak samar lagi bahwa ketika seseorang ikhlas memasrahkan hati (=hewan kurban) pada-Nya, maka yang ia terima adalah ’hati’ itu, bukan daging dan darahnya. Dalam konteks kekinian, Allah tak pernah meminta dikasih ’sesajen’ daging atau darah hewan yang disembelih tapi ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan orang yang berkurban[4], seperti—sekali lagi saya mengutip nama—Ibrahim mengorbankan anaknya. Sedangkan dagingnya dibagikan secara adil pada yang berhak: sepertiga untuk yang berkurban, sepertiga lagi untuk kerabat dan sahabat walaupun orang kaya, dan sisanya untuk fakir miskin[5]. Inilah sisi sosial ibadah kurban: semua dapat merasakan tanpa membedakan status sosial. Sehingga mereka dapat merasakan kesempurnaan hari raya Idul Adha dan Tasyriq dalam kesetaraan dan, bagi fakir miskin, sesekali dapat menikmati ’makanan orang kaya.’ Selain itu, ibadah kurban juga memberi rezeki tahunan para peternak dan/ atau penggembala domba. Misalnya, bila biasanya hanya 3—4 ekor domba yang terjual perbulan, pada Idul Adha bisa tiga sampai empat kali lipat. Dengan demikian, orang yang berkurban membantu membantu perekonomian peternak domba. Dengan kata lain, si kaya, peternak, dan orang miskin, semua turut berperan dalam ibadah kurban. Dalam skala yang lebih besar, ibadah kurban dapat memberikan masukan kas negara tak bisa dibilang sedikit. Kita ambil contoh, berapa juta ekor domba yang disembelih di Arab Saudi? Bila Indonesia mampu mengekspor domba atau sapi ke sana tentu ini dapat memberikan masukan bagi kas negara yang tak bisa dibilang sedikit. Siapkah? Sayangnya, kita orang-orang rapuh. Jangankan ekspor domba, beras pun masih mengimpor padahal sawah di negeri ini tak bisa dibilang sedikit. Ironis, bukan? Kenapa? Terhadap pertanyaan terakhir saya hanya mau berkomentar: terkadang kita terpaksa ’tunduk’ pada ’misteri’? *** Maka dari itu, kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan menggali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali, mengutip Nurcholis Madjid, ”Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi. Sebab, hikmah ibarat madu; kita tak bisa merasakan manisnya madu sebelum mencicipinya. Kita pun tak dapat merasakan ’nikmatnya’ beribadah (dalam konteks ini: ibadah kurban) tanpa mengenali hikmah ibadah yang kita kerjakan. Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban karena ia rumusan yang ringkas dari ikhtiar menjalin solidaritas sosial dan tenggang rasa dalam bangsa yang multi-kultur. Dengan kata lain, kita perlu beribadah kurban untuk mengukuhkan, bahwa disadari atau tidak, mau tak mau, kita hidup bermasyarakat. Kita beribadah kurban, kita pun mengukuhkan solidaritas sosial. Dengan demikian, Islam sebagai rahmat lil alamin tak sebatas retorika. [] Dipublikasikan pertama kali di, Elwaha, Nopember 2009 Dimuat ulang: http://kedungwungu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31%3Amenggali-hikmah-ibadah-qurban&catid=7%3Afikih-kontemporer&Itemid=2 *) Mahasiswa International Islamic Call College, pemimpin umum jurnal Pemikiran dan Peradaban Mediaka, dan koordinator Lajnah Ta’lif Wan Narys PCI NU Libya. Lebih lengkap tentang dan pemikiran penulis, kunjungi www.achmadmuntaha.co.cc dan www.kedungwungu.com **) fragmen ini hanya gagasan, pembaca bisa setuju, boleh menolak. Kita bisa mendiskusikannya di blog saya. [1] Dalam khazanah hukum Islam tidak ditemukan kata ”kurban,” tapi ”al udhiyah.” Secara leksikal, derivasi ”qurban” dari qoruba-yaqrubu-qurban-waqurb?nan-waqirb?nan, artinya dekat. Lihat: Ibn Mandzur. 1999. Lisan Al ‘Arab. Cetakan-3. Baerut-Dar Ehia Al Tourath Al Arabi. Juz 11. Hal. 86. Mungkin karena tujuan penyembelihan hewan (al udhiyah) untuk mendekatkan diri pada Allah, maka term ”qurban” lebih akrab dari pada ”al udhiyah” yang merupakan istilah dalam khazanah hukum Islam, fikih. [2] Al Qurthubi, Abi Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ai Bakr. 2006. Al Jami’-u Al Qur’an-i Al Karim-i: wa Al Mubayyin-u lima tadlammana-hu min-a al sunnat-i wa ?yi Al Furq?n-i. Cetakan-Pertama. Baerut: Al Resalah Publishers. Juz XVIII. Hal. 71 [3] Ulama masih tarik-ulur anak yang akan disembelih. Mayoritas riwayat yang mengatakan ia adalah Ishaq a.s., diantara perawi ini adalah Al ‘Abbas Ibn ‘Abdul Muthallib dan anaknya, ‘Abdullah. Sedangkan menurut Abu Hurairah r.a. anak yang akan dijadikan kurban ialah Isma’il a.s. Ibid hal. 61-65. [4] Q.S Al H?jj: 37. 

Hikmah puasa tgl 8 dan 9 Dzulhijjah (Puasa Tarwiyah dan Arafah)

PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.

Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)


Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.

Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum’at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim)

Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

* Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.

* Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:

Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).

Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.

Ketiga, hukum memainkan alat musik.

Keempat, hukum mendengarkan musik.

Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.

Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.

*.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:

a. Berdasarkan firman Allah:

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.

Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].

c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”

B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:

a. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:

Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:

“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].

d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].

e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

C. Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).

Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:

Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:

Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).

Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).

Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

*.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)

Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:

Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).

Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.

Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:

“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.

Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.

Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:

“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).

“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).

*.3. Hukum Memainkan Alat Musik

Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).

Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

*.4. Hukum Mendengarkan Musik

a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.

Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.

Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).

b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.

Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:

Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).

Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:

Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).

*. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):

1. Musisi/Penyanyi.

2. Instrumen (alat musik).

3. Sya’ir dalam bait lagu.

4. Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:

1). Musisi/Penyanyi

a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik

Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:

a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

3). Sya’ir

Berisi:

a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)

b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.

c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.

e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:

a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).

b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.

c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.

d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).

e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

4). Waktu Dan Tempat

a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.

b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).

c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).

d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).

5. Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.

Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.

Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com)

Wallahu a’lam bi ash-showab. 


Read more: http://monozcore.blogspot.com/2011/08/blog-widget-burung-terbang-twitter.html#ixzz1fHo4xEHs